Angkat topi untuk istri saya….
Istri saya pernah jadi buruh. Saya pun pernah mburuh. Bahkan, saya sampai 11 tahun di pabrik koran (molor 1 tahun dari planning awal..hehe).
Tiap tahun, tiap kali Lebaran akan tiba, kami sama sama memiliki perasaan yg sama; perasaan hati berdebar bercampur gembira. Yakni, menanti datangnya “tamu agung” bernama THR.
Ya, sbg kaum buruh kecil, THR memang bagian tak terpisahkan dari hari raya kami kecil kecilan. Tanpa suplai THR, Lebaran kami serasa ada yg tercerabut hilang dari sisi kanan kiri kami.
Sebab, dlm tradisi keluarga kecil kami, THR adalah alat atau sarana kami dlm merawat silaturahmi dg sanak kerabat di tanah kelahiran. Kami nyaris tak terpikir untuk menumbangkan seluruh THR di pusat perbelanjaan, betapa pun kami juga sangat tergiur.
* * *
Namun, hari hari terakhir ini, perasaan sembilu sempat menyempil di ulu hati kami. Apalagi kalau bukan soal THR.
Di masa pageblug ini, semuanya berubah. Finansial menipis akibat seretnya perputaran uang. Tabungan terkuras. Kas? Tersedot untuk kebutuhan dan tagihan bulanan yg tak bisa diajak bernego. Wadul kpd siapa? Pemerintah?! Ah, mimpi di siang bolong.
“Ayah, kru sudah mulai tanya THR?”tiba tiba sebuah pesan WA dari istri saya masuk ke ponsel. Pesan itu serasa gledek menyambar ubun ubun kami.
Saking bingungnya, saya hanya kirim gambar emotion garuk garuk kepala.hehe…
Mengaca pada tahun tahun sebelumnya, THR memang ungkapan terima kasih kami kpd kru kami yg biasa kami rayakan dg gembira. Bahkan, jauh sebelum Lebaran itu tiba, THR sudah kami berikan. Harapannya, mereka bisa bergembira menyambut Ramadhan dan harga harga sembako blm pada melangit. Tapi, kali ini….??
“Ayah, itu hak mereka lho. Harus dicarikan!”desak istri saya saat diskusi.
“Mau cari pinjeman uang ke mana ya?”tanyaku. “Mau jual barang apa ya? Tapi, apa iya, ada org mau minjemi, atau ada orang mau beli? Bukannya uang lagi macet karena pandemi,”sambungku saat itu.
Dlm situasi kepepet, terbersit juga saat itu mau bedah celengan berwarna biru tua milik anak kami. Tapi, buru buru istri mencegahnya. “Jangan. Itu uangnya Air. Kasihan.”
Dan malam itu, langit tak berbintang. Mendung kelabu menggantung.
* * *
Keesokan harinya, sekitar jam 12.00 wib, istri saya tak terlihat di rumah. Anak anak kami tidur semua di kamar. Kecuali anak sulung yg kluyuran entah ke mana. Saya tanya ibu, tapi tak tahu. “Jare metu sedelo,”jawab ibu.
Sekitar pukul 15.00 wib, istri sudah kembali terlihat di rumah. Wajahnya nampak sumringah. Ia lalu bersandar di kursi rotan di sampingku di teras rumah.
“Dari mana Bun?”
“Dari toko emas,”jawabnya tersenyum.
Saya terkejut.
“Ke toko emas?! Sendirian?!”tanyaku setengah tak percaya.
Dia mengangguk.
Rupanya, istri saya menjual barang berharga satu satunya yg dia simpan rapi di dalam almari selama ini, yakni cincin emas pernikahan kami.
Saya sempat kehilangan kata kata. Tak tahu lagi mau bicara apa. Haru sekaligus salut. Sebab, untuk mengambil sebuah keputusan besar, urgen, dan menyangkut solidaritas sesama kaum buruh, istri saya hanya butuh waktu beberapa detik.
Saat itu, istri saya ga kepikir mau menunda THR, apalagi meniadakannya dg alasan pandemi. Baginya, THR bukan sekadar amanat yg harus ditunaikan sebagaimana kewajiban berpuasa bagi org beriman, namun juga utang budi yg akan dibawa mati. Itulah kenapa, dia mengambil keputusan besar sekaligus sebagai jalan sacrifice.
“Ayah, nanti kalau ekonomi sudah membaik. Cincinnya diganti lagi ya. Yang lebih besar gram nya,..hehe…”pintanya.
Kira kira apa jawaban suaminya? Dyarrr…
(disalin dari beranda fb aries susanto/ mantan wartawan solopos)