APARAT HARUS BEKERJA SECARA WAJAR DAN TERUKUR

Saya baru saja ‘ngeh’ kalau ternyata IBHRS itu kepanjangannya Imam Besar Habib Riziq Syihab. Di samping lama tidak mengikuti berita, dikarenakan saya bukan bagian dari makmumnya. Mungkin karena belakangan ini nama itu sering muncul di berbagai media bahkan mengalahkan hebohnya lompatan benur, benih lobster dan mawutnya dana sosial covid-19 yang jelas-jelas extra ordinary crims.
Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengingatkan aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, agar menggunakan kewenangan SECARA WAJAR dan TERUKUR, saat menyampaikan keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor, Ahad (13/12), yang secara khusus menanggapi terbunuhnya enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) dan aksi terorisme di Sigi, sebagaimana dimuat dalam REPUBLIKA.CO.ID, memaksaku pingin melihat objek peristiwa lebih dekat.
Berikut linknya : https://republika.co.id/…/kasus-tewasnya-enam-laskar…
Terkait kasus kerumunan yang disangkakan kepada HRS, saya bisa memahami keheranan sebagian masyarakat kepada oknum aparat yang dinilai kurang wajar bahkan tidak terukur (meminjam istilah Presiden). Hingga secara tidak langsung berakibat tertembaknya 6 pengawal HRS yang akhirnya meninggal, bahkan sebagian menyebutnya sebagai pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing).
Apalagi Prof. Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dalam suatu kesempatan saat menggelar konferensi pers secara virtual pernah menyampaikan bahwa tidak ada sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan (prokes). Ini merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) 6/2020 soal aturan tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Di mana aturan itu hanya mengatur pemberian sanksi (https://kesehatan.rmol.id/…/mahfud-md-pernah-bilang…)
Ditahannya HRS untuk 20 hari kedepan hingga 31 Desember 2020, setelah melalui serangkaian pemeriksaan di Polda Metro Jaya terkait dengan KERUMUNAN yang ditimbulkan oleh acara pernikahan putrinya, Shafira Najwa Shihab, yang kemudian dilanjutkan dengan acara Maulid Nabi pada tanggal 14 November 2020, menimbulkan pro dan kontra. Apalagi dengan diikatnya kedua tangan HRS meskipun hanya dengan cable ties, berikut rompi orange yang dikenakannya.
Yang pro menganggap sudah sewajarnya karena dengan alasan untuk memudahkan penyelidikan. Yang kontra merasa itu terlalu berlebihan, karena kasus kerumunan serupa sangat banyak dan sering sekali terjadi di proses pernikahan saat pandemi ini. Apalagi rangkaian pilkada baik saat pendaftaran, kampanye maupun syukuran kemenangan paslon hampir pasti sulit dielakkan. Tetapi mengapa seolah ‘kesalahan’ yang sudah jamak dilakukan hanya HRS yang dikenai hukuman ? Padahal konon ybs sudah membayar sanksi denda ke pemerintah DKI.
Akhirnya banyak asumsi spekulatif muncul dan menambah volume kegaduhan publik. Mulai dari rakyat biasa, tokoh masyarakat, pejabat, purnawirawan, ahli tata negara hingga ahli hukum pidana menyampaikan komentarnya yang bernada protes dan menyayangkan praktik penegakan hukum yang mereka sebut tebang pilih itu.
Agar ‘ketidakjelasan’ ini tidak berkepanjangan, saya sepakat dan mendukung penuh instruksi Presiden RI, Joko Widodo agar aparat bertindak WAJAR dan TERUKUR, artinya sebisa mungkin menghindari persepsi subjektif dan meminimalisir kesewenang-wenangan.
Terkait tetembaknya 6 anak bangsa semoga segera terbentuk tim independen atau apapun namanya sehingga bisa segera mengakhiri polemik yang berkepanjangan dan demi terlaksananya sila Kemanusiaan Yang ADIL dan BERADAB.
Untuk kasus kerumunan yang disangkakan segera mendapatkan penyelesaian demi tegaknya sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
(Sugiyanto Harman)