Berdayakan, Jangan Eksploitasi (lagi)!: Refleksi Wheel Chair Day

kota(klatentv.com)_Perjuangan disabilitas untuk membuka akses dan pelibatan yang setara dan bermartabat dalam urusan masyarakat adalah perjuangan terbesar sepanjang sejarah dalam penegakkan hak asasi manusia.

Salah satu hak disabilitas menurut Undang-undang Nomor 19 tahun 2001 adalah mendapat penghidupan layak. Salah satunya, selain merdeka dan terbukanya akses ekonomi juga termanifestasi bagaimana mereka mengejawantahkan segenap raga dan pemikiran untuk sebuah karya.

Karya bukan monopoli non-disability an sich. Bahkan kemampuan berkarya itu terkadang tidak berhubungan dengan keterbatasan fisik selama tekad dan pemikiran itu ada. Sehingga tak jarang kita temui para atlet, seniman, pengkarya kerajinan go public, juga inisiator projek-projek besar. Tak mengherankan bagi saya, karena karya itu lahir dari pemikiran dan luasnya dimensi visi hidup seseorang. Namun, memang harus melihat jenis disability-nya.

Untuk kasus yang saya prologi tentu lebih mengarah pada penyandang disabilitas jenis tuna daksa atau cacat fisik. Beda lagi ranahnya jika harus membicarakan upaya pemberdayaan untuk kawan-kawan tuna grahita. Mereka mengalami retardasi mental dimana kecerdasan di bawah rata-rata dengan dignosa medis bergejala kesulitan berpikir dan memahami yang berpengaruh pada keterampilan konseptual, social dan praktis tertentu. Namun, bukan berarti para penyandang tuna grahita tak bisa atau sulit diberdayakan.

Dewasa ini perusahaan-perusahaan sedang gencar mengkampanyekan tanggung jawab sosialnya melalui pendekatan Corporate Social Responsibility (CSR). CSR adalah pendekatan bisnis dengan memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan dengan memberi manfaat ekonomi, social dan lingkungan. Tak menutup kemungkinan komunitas disabilitas pun masuk dalam perhatian khusus CSR sebuah perusahaan. Satu sisi, ini kesempatan luas bagi disabilitas agar bisa mengembangkan diri dan terfasilitasi. Baik alat bantu maupun akses berkarya dan berekonomi. Sisi lain, sudah bukan rahasia umum lagi, ini menjadi lahan empuk para‘pegiat proposal’demi menggemukkan pundi-pundi pribadinya.

Ya, para penyandang disabilitas itu adalah kelompok strategis yang bisa dijadikan obyek sekaligus kendaraan bagi para kapitalis. Seperti tanah basah yang siap ditanam dan jelas kapan panen serta nominal perolehan panenannya. Saatnya kaum disabilitas peka. Peka dengan potensi diri, baik potensi fisik maupun potensi ide-ide. Yang mengerti kebutuhan kaum disabilitas adalah mereka sendiri.

Jika non-disability memang berkecenderungan untuk membantu membangun dan menegakkan mereka, bantu dengan penguatan diri berupa pelatihan pendidikan karakter agar mereka tangguh, mandiri dan bisa bertanggung jawab setidaknya kepada dirinya sendiri. Bukan serta merta blusukan akses dana, parahnya lagi nama-nama kaum disabilitas hanya sebagai pemanis proposal. Miris. Tidak ada salahnya membantu membuka akses dana, hanya saja ini ranah yang krusial dan rawan penyelewengan serta penyalahgunaan.

Belakangan, para disabilitas sendiri juga telah membuka mata untuk kritis terhadap kebutuhan diri sendiri. Mereka mencoba membuat terobosan aktivitas untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Beragam kegiatan baik perhelatan karya maupun terobosan ekonomi dipertunjukkan demi mendapat perhatian dan pengakuan bahwa mereka adalah sama. Itu tak berlebihan, karena itu hak adalah mereka sesuai dengan amanat undang-undang bahwa disabilitas memiliki kesempatan hidup layak sama seperti yang lainnya.

Namun, tak bisa dipungkiri bergulirnya waktu menjadi terasa bak uforia belaka tatkala para penyandang sendiri akhirnya terjun ‘berpanggung’. Gelaran kegiatan yang semestinya menyuguhkan karya tak lebih hanya ritual formalitas sebagai ajang pencitraan dan tak jarang stake holder yang haus panggung dan eksistensi akhirnya turun gunung merangsek masuk meminta bagian dari panggung tersebut atas nama punggawa. Sayangnya, tak jarang media massa memfasilitasi upaya pencitraan ini.

Lagi-lagi kaum disabilitas menjadi kendaraan oknum tertentu atas aksinya sendiri. Mereka terjebak pada tujuan tendensius dan mengabaikan tujuan esensial dari aksi yang digelar. Lagi-lagi kasihan dan kasihan. Disabilitas, ohh, Disabilitas … Ayo, kritis. Kalian bukan komoditas para kapitalis (sekalipun kapitaslis itu kaummu sendiri), kalian bukan penyedia panggung bagi para punggawa yang haus eksistensi dan gila popularitas, kalian bukan obyek media massa dan bukan obyek projek-projek para ‘pegiat proposal’. Kalian adalah kami, tak ada beda.

Happy Wheel Chair Day

-ika nh-

Mom of CTEV Fighter