Cawas, (klatentv.com)__Terkait dengan Tewasnya seorang guru ngaji, Siyono (39) warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten yang tewas saat dibawa Densus 88, Jumat (11/3/2016), mendapat tanggapan keras dari Pengamat Terorisme, Mustofa B. Nahrawardaya. Pengurus MPI PP Muhammadiyah periode 2010-2015, 2015-2020 itu menyebut penangkapan siyono penuh dengan pelanggaran, apalagi siyono dipulangkan dalam kondisi meninggal sementara penyebab kematianya hingga kini dari pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi.
Berikut beberapa tanggapan yang disampaikan Pengamat Terorisme, Mustofa B. Nahrawardaya terkait tragedi di klaten melalui releas di jakarta, (13 Maret 2016).
Pertama, bahwa saksi di TKP menyatakan korban telah dijemput paksa oleh Densus 88 dalam kondisi sehat wal afiat, Selasa (8/3/2016) tanpa sakit tanpa luka. Korban dijemput setelah Shalat Maghrib di Mesjid dekat rumah dan saat ini korban telah dinyatakan tewas oleh kepolisian. Alasan korban tewas, menurut Karo Penmas Polri Brigjen Agus Rianto, adalah karena kelelahan setelah berkelahi dengan Densus 88 di dalam mobil.
Kedua, tentu saya tidak mudah percaya dengan perubahan karakter Densus 88 yang tiba-tiba menjadi tidak ganas. Selama ini, semua orang juga tahu akan keganasan Densus 88 saat bekerja. Tidak ada ceritanya, ada terduga yang dapat lolos dari kawalan Densus. Setetelah ditangkap dengan cara kasar, biasanya terduga langsung diborgol, dilakban mukanya. Bahkan, kaki dan tangan terduga, 100% tidak mungkin dapat bergerak bebas, karena memborgol kaki dan tangan adalah standard baku mereka. Jadi kalau sampai ada terduga lepas dari kawalan, apalagi berani melawan Densus seperti Siyono, ini sebuah fenomena baru. Boro-boro berkelahi. Terduga menggerakkan tangan saja, kemungkinan sudah ditembak mati karena dianggap melawan. Ini adalah kejahatan extra ordinary crime. Kejahatan tingkat tinggi, yang resiko dari kejahatannya dapat membunuh banyak orang. Maka dari itu, kebiasaan Densus, adalah bermain keras dan ganas—jika tidak mau saya sebut kejam. Densus sering memberlakukan diskresi. Korban dari pengadilan di luar Gedung Pengadilan juga sudah banyak.
Ketiga, kematian Siyono, jelas menyisakan banyak pertanyaan. Oleh karena itu, patut dilakukan pengusutan serius terhadap operasi Densus ini. Jika perlu, dilakukan audit total terhadap satuan khusus anti terorisme ini. Kenapa harus diaudit, karena kenaikan anggaran Rp. 1,9 Triliun untuk Densus 88, diakui Luhut Panjaitan adalah untuk kenaikan gaji 400 Anggota Densus, Peremajaan alat, penguatan intelijen, dan sebagainya. Namun jika kenaikan tersebut tidak menambah keahlian Densus dalam dinas, maka anggaran tersebut perlu diaudit dan kalau perlu, selama audit, operasi Densus 88 sementara dikembalikan ke Brimob terlebih dahulu.
Keempat, cara-cara Densus menggeledah perlu dievaluasi. Banyaknya pelanggaran di lokasi penggerebekan termasuk di TK Roudhatul Athfal Klaten. Penggeledahan disaat anak-anak TK yang sedang belajar di lokasi, tidaklah perlu. Jika fungsi intelijen akan ditingkatkan dengan kenaikan anggaran, maka cara-cara brutal seperti itu jelas tidak elok. Selain menyebabkan anak-anak trauma, maka perilaku Densus seperti itu sangat berpotensi menimbulkan dendam kesumat yang tersimpan di benak para siswa. Cara-cara itu hanya akan melahirkan teroris baru di kemudian hari.**