Kota (klatentv.com)-Kata petahana baru muncul pada tanggal 6 Pebruari 2009 terkait pemilihan presiden ketika Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan kembali sebagai kandidat saat masih menjabat. Menurut Salomo Simanungkalit, salah satu ahli bahasa Indonesia, –yang mempopulerkan istilah petahana– kata itu belum dibutuhkan pada era presiden Suharto karena tidak pernah ada penantangmya.
Kata petahana merupakan padanan kata dalam bahasa Inggris ‘incumbent’ yang berarti seseorang yang mencalonkan diri kembali untuk jabatan yang sedang dijabatnya.
Karena posisinya sebagai petahana, kandidat kepala daerah ini otomatis memiliki peluang atau potensi kecurangan yang lebih banyak dibanding ‘penantang-penantangnya’. Berikut sebagian potensi tersebut :
1. Memanfaatkan jalur birokrasi, terutama jalur instruksional yang telah berlaku dalam tatanan birokrasi tersebut. Jika jabatan itu bupati, ia bisa memobilisasi camat dan SKPD bahkan kepala desa atau lurah sedemikian rupa. Meskipun aturan netralitas ASN sudah sangat jelas tetapi bagi pejabat yang nekat tidak sulit memanipulasinya. Tentu saja dengan menyiapkan berbagai jawaban bahkan alibi yang sangat mungkin aman secara hukum.
2. Camat, SKPD, Kepala Desa atau Lurah karena kekhawatiran dimutasi, dilepas jabatan atau ditutup akses bantuannya kemudian menekan bawahannya hingga ketua RW, ketua RT, ketua paguyuban dan lainnya, untuk mengikuti instruksi dimaksud bahkan kalau mungkin disertai ancaman atau intimidasi yang membuat ciut nyali.
3. Menyamarkan bantuan-bantuan sosial seperti PKH, BLT dan sejenisnya seolah-olah bantuan tersebut tersalur kepada masyarakat penerima karena otoritas kekuasaannya. Salah satu targetnya, pihak penerima yang secara umum kalangan lemah sosial ekonomi, merasa berhutang budi dan takut kehilangan fasilitas tersebut jika tidak memilih petahana. Menurut saya praktek ini pseudo korupsi yang lumayan besar, karena “memaksa” opini bahwa itu seolah-olah uang pribadi padahal milik negara.
4. Menyebarkan informasi secara masif bahwa dia sudah terbukti pengabdian dan dedikasi kerjanya, sedangkan kandidat lain baru bisa ngomong dan menjanjikan. Pernyataan ini menjadi lucu dan terkesan membodohi karena semua orang tahu, bagaimana mau mengabdi dan menunjukkan dedikasi kalau memang belum pernah menjabat.
Jika keempat hal atau salah satunya jika benar-benar dilakukan oleh kandidat petahana maka jelas sangat merugikan penantang yang sudah pasti tidak memiliki akses seperti yang dimilikinya. Yang sebenarnya kondisi seperti itupun pernah juga dialami oleh petahana.
Untungnya, tidak ada satupun kandidat petahanan di NKRI tercinta ini yang memanfaatkan keempat potensi itu. Mereka bertarung secara fair, menjaga netralitas dan menjunjung tinggi sportifitas.
Semoga pilkada tahun 2020 ini terpilih para pemimpin bangsa yang tangguh, jujur dan benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongannya.
(Penulis: Sugiyanto Harman )