“Besok kabarnya kantor mau ditutup.”
Begitu kata salah satu driver ojek online yang sedang mengantrekan pesanan makanan dari customernya.
“Terus, nariknya gimana, Pak?”
“Ya nggak tau, lihat gimana besok,” ujarnya pasrah.
Ini obrolan kemarin sore.
Soal kebijakan walikota yang melarang beroperasinya transportasi berbasis online di Magelang ini mau tak mau menggelitik hati saya yang setiap harinya selalu bertemu dengan mereka, para driver yang menggantungkan hidupnya dari jasa customer.
Jauh sebelum Gojek masuk Magelang, di kota ini sudah ada transportasi berbasis online bernama Nguberjek dan Rtrans. Di kota yang terbilang kecil, pengguna jasa mereka tak bisa dikatakan sedikit. Sebagai orang yang setiap harinya berkutat di gerai rumah makan, orderan customer yang masuk dan membutuhkan jasa para driver ini cukup tinggi. Sehari bisa berkali-kali driver datang untuk mengambil pesanan dan mengantarkannya ke customer.
Apakah ini berarti masyarakat Magelang malas beli sendiri? Tidak selalu.
Menurut obrolan saya dengan beberapa driver, pelanggan mereka biasanya orang orang yang memang sulit untuk melakukan mobilitas. Seperti seorang ibu yang memiliki beberapa balita tanpa ART, yang bahkan untuk keluar rumah sekadar mencari makan atau keperluan lain pun susah. Banyak juga karyawan yang tidak bisa keluar lama saat jam istirahat yang minta dipesankan makanan oleh para driver ini. Dalam sehari, bisa dibilang hampir 50% orderan yang masuk di gerai kami adalah menggunakan layanan pesan antar.
Tunggu, apakah saya menuliskan tentang keberadaan ojek online di Magelang ini karena ada kepentingan dengan usaha gerai rumah makan saya? TIDAK sama sekali. Karena tanpa ojek online pun, gerai kami sudah melayani pesan antar tanpa ongkos kirim dengan ketentuan.
Nah, dari pemesanan yang tidak memenuhi ketentuan untuk free ongkir ini, kami memberikan orderan kepada para driver ojek online. Ongkos kirim yang dibayarkan oleh konsumen sepenuhnya masuk kantong para driver. Dari situlah, beberapa driver mengaku penghasilan mereka menjadi relatif stabil. Jika orderan mengangkut penumpang sepi, setidaknya orderan mengantar makanan makin ramai. Pundi-pundi rupiah terkumpul dari mulai lima ribuan yang bisa didapat beberapa kali dalam sehari. Alhamdulillah….
Oh ya, kemarin saya sempat baca sekilas, katanya salah satu alasan walkot melarang ojol di Magelang karena beliaunya lebih memilih ngaboti warganya? –correct me if I’m wrong–
Lah, padahal kebanyakan driver ojol itu ya warga Magelang sendiri. Kira-kira pak wali pernah ngobrol dengan mereka atau belum, ya? Kebetulan saya sering. Mereka-mereka itu berangkat dari berbagai lapisan. Ada yang sudah berprofesi sebagai security sebuah kantor dan menjadikan ojol sebagai sampingan untuk menambah penghasilan. Tak sedikit pula dulunya mereka adalah tukang ojek pangkalan yang melek perubahan. Ada juga beberapa kakek-kakek yang masih berjuang memberikan hidup layak untuk keluarganya, karena mereka sadar untuk bekerja di perusahaan, usia mereka sudah banyak ditolak. Bahkan nih ya, tak sedikit ibu-ibu yang juga menjadi driver ojol ini demi meningkatkan penghasilan untuk keluarganya. Ibu-ibu ini, bahkan tak segan narik ojek dengan berdaster atau gamis lebar karena mereka tak sempat ganti baju demi memenuhi panggilan orderan pelanggan. Mereka hanya sempat mengenakan jaket atribut lalu berangkat —sayangnya untuk yang ini saya tidak punya dokumentasi fotonya. (Proud of you, Bu Yunita, Bu Sri, dan Bu Rina dari Nguberjek)
Jumlah mereka ini ratusan lho di Magelang. Lantas, mereka yang sudah bergantung dengan profesi ini, mau ‘dihentikan?’
Penulis: annisa andrie