Klatentv.com- Apa bila PILKADA disebut demokrasi tentunya akan bisa menghasilkan pasangan pemimpin yang mempunyai integeritas, kapasitas dan kapabilitas yang baik untuk memimpin sehingga mampu membawa klaten menjadi sejhtera, mandiri dan bermartabat. Namun kenyataanya sejak orde reformasi bergulir tahun 1998 demokrasi itu hanya seperti hajatan perkawinan dengan menghabiskan banyak sekali uang atau tindakan pemborosan yang kadang kala menyisakan problem hutang yang ke depanya bisa mengganggu kehidupanya.
Demikian pula dengan PILKADA, yang alasan memilih seorang pemimpin tetapi dengan menghabiskan uang rakyat (anggaran untuk pembangunan daerah) milyaran rupiah namun realitanya hasilnya tidak memenuhi ekspektasi rakyat Klaten, mengapa bisa demikian? Karena yang dikatakan demokrasi hanya sebuah jargon dan visi misi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang disampaikan dalam setiap kampanye-kampanye.
Setelah selesai Pesta Demokrasi itu dan ada pasangan calon yang terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati jargon dan visi misi itu lenyap seiring dengan berjalanya waktu, ternyata setelah mereka menjabat sebagai Bupati dan wakil Bupati Jargon dan visi misi itu tidak dijadikan haluan di dalam kepimpinanya selama lima tahun. Sesudah mereka memangku jabatan Bupati mereka sibuk untuk mengembalikan modal kampanye dan sibuk mempersiapkan pesta demokrasi periode berikutnya.
Sementara rakyat diposisikan sebagai opyek kebijakan dan kehidupan rakyat dipaksa untuk bergantung kepada pemerintah, dampak dari semua itu pemikiran, ucapan dan tindakanya selalu prakmatis yaitu ada uang dipilih tidak ada uang tidak dipilih. Mereka memilih bukan karena idiologi atau perimbangan pantas atau tidak pantas memimpin klaten tetapi memilih karena sejumlah uang dan sebuh janji-janji. Mari kita tunggu dan sama- sama kita buktikan kebenaranya. (Sulag)