Selamat Jalan Pejuang!
“Bapak itu apa saja ustadz Suhari. Urusan apapun selalu konsultasi ke ustadz Suhari. Bapak…bapak” tangisan mukhlis, murid saya yang sekaligus ragilnya Mas Djuriono Djuri meledak. Lama sekali saya mendekapnya hingga tangisnya agak mereda.
Namun tak selang berapa lama, tangisnya kembali pecah; “Kalau sudah urusan dakwah, semua ditinggalkan. Dakwah terus, gak mau istirahat…bapak…bapak” kalimatnya makin terbata-bata. Maklum, Mukhlis adalah anak terakhir mas Djuri yang paling disayang. Maka kepergian ayahnya, adalah kehilangan yang sangat menyesakkan dada.
Saya sendiri hampir tak percaya dengan begitu cepatnya perpisahan ini. Terakhir perjumpaan saya dengan beliau adalah Jumat yang lalu, saat kami rapat di kediaman mas Aris. Usai rapat, seperti biasa saya menyapa satu persatu pengurus yang masih tertinggal termasuk beliau.
Dengan nada bercanda, saya berkata: “MasyaAllah, tumben mas Djuri sampai selarut ini gak ngantuk? Biasanya baru duduk sudah pulas… hahahaha”, kelakar saya.
Jam dinding di gebyok (dinding yang terbuat dari kayu jati) mas Aris menunjukkan pukul 00.31 dini hari. Tak seperti biasanya, wajah beliau terlihat sumringah dan cerah sekali. Sambil sedikit terkekeh beliau menghampiri saya. Ketawa khas yang pasti akan selalu saya rindukan.
Memang benar kata Mukhlis, ada masalah apapun Mas Djuri selalu konsultasi ke rumah. Besar maupun kecil. Mulai dari konsultasi hasil riset hingga soal anaknya mau test CPNS beliau selalu meminta nasehat. Dan apapun nasehat yang saya berikan selalu diamalkan. Tak ada bantahan, bahkan tak ada pertanyaan yang diajukan.
Semua berangkat dari kepercayaan. Beliau sangat percaya dengan saya sehingga tidak mungkin saya sembarangan memberikan masukan. Inilah mungkin yang membuat saya sangat mencintai beliau.
Beliau tidak hanya murid, namun juga kawan seperjuangan. Apapun yang dia punya didedikasikan untuk Alfatih. Beliau sering mempresentasikan hasil temuannya di rumah saya terkait kopi, pengolahan sampah dan yang terakhir planning untuk memproduksi minyak wangi dari bunga melati yang mau di tanam di sepanjang tembok depan pesantren.
Saat saya menyampaikan khutbah mahasinul mayyit dan memimpin doa di halaman rumah beliau, hampir saja saya tidak mampu mengeluarkan suara. Tercekat dalam duka yang amat dalam. Berkelebat berbagai kenangan perjuangan bersama beliau, baik perjuangan di Alfatih maupun perjuangan di perumahan griya prima tempat tinggal beliau.
Sampai saat ini jika saya teringat beliau, meskipun di depan anak-anak saya, saya masih meneteskan air mata. Mata saya tiba-tiba berkaca-kaca dan tumpah ruah air mata saya tanpa bisa saya bendung.
Namun kesedihan dan duka ini sedikit terobati ketika saya mengingat caranya meninggalkan dunia; wafat saat menyampaikan khutbah, wafat setelah mewasiatkan ketakwaan hingga akhir hayat. Indah sekali. Membuat cemburu para asatidz. Membuat iri para pejuang.
Selamat jalan mas Djuri, selamat jalan pejuang!
sumber: Suhari Abu Fatih
Pengasuh PPM Alfatih Klaten
