Dunia pendidikan Indonesia sedang diuji habis-habisan sejak pandemi melanda. Membatasi mobilisasi dan interaksi menjadi program wajib demi menekan transmisi virus covid-19. Sekalipun interaksi fisik. Artinya, model pembelajaran tatap muka dan tutorial terpaksa dihentikan. Sistem mau tak mau harus segera menyesuaikan diri dengan keadaan. Model pembelajaran hingga target pencapaiannya perlu dirombak total sementara karena pembelajaran beralih dalam jaringan (daring).
Pembelajaran model daring telah berjalan selama kurang lebih satu tahun sejak kemunculan bencana covid-19. Namun, dalam kurun waktu tersebut penggunaan metodologi daring masih berkutat pada android dan fasilitas soft ware yang disediakan di dalamnya. Seharusnya pendidik segera menemukan format yang tepat untuk pembelajaran daring tanpa mengurangi esensi kemerdekaan belajar anak.
Selama ini yang jalan masih bergumul pada pada pemberian materi dan penugasan. Belum pada sentuhan pendidikan karakter itu sendiri. Bagaimana mau bicara soal karakter, Fakta lapangan justru pembelajaran daring ini banyak meninggalkan polemik.
Kebutuhan fitrah anak-anak tak lain adalah kegembiraan. Itu bisa mereka peroleh dari lingkungan dan orang-orang dewasa yang memerdekakan. Bermain adalah instrumen penting lahirnya kegembiraan dan hak anak. Dengan bermain anak-anak bisa melakukan banyak hal (eksplorasi), bermain juga akan mengembalikan energi setelah banyaknya tuntutan wajib yang diberikan orang tua.
Miris, belakangan instrumen itu direnggut oleh banyak kebijakan punggawa. Terlebih pandemi covid 19 telah merombak telak tatanan kehidupan.
Penyesuaian adalah hal wajib yang tak bisa dihindari dan ditunda. Belajar cepat untuk menjadi manusia baru dengan banyak pembatasan sosial. Mudah? Tentu tidak. Jelas ini akan merenggut kemerdekaan banyak manusia. Tak luput di dalamnya adalah anak-anak.
Belajar daring. Satu-satunya metode belajar yang dipercaya bisa menjadi solusi pembelajaran tatap muka selama masa pandemi. Ada banyak hal yang kemudian dipaksakan. Salah satunya penggunaan masif akan instrumen teknologi bernama gadget telah menggeser peran mainan anak-anak. Bahkan waktu bermain pun rela ditukar demi menyelesaikan tugas-tugas akademis daring.
Tidak mengherankan jika belakangan muncul banyak persoalan. Dari hal akses kepemilikan gadget itu sendiri, ketersediaan kuota data, hingga akses jaringan, dan persoalan mendasar yang terjadi adalah hilangnya kesempatan dan waktu bermain anak-anak. Padahal bermain adalah kebutuhan dasar mereka.
Beberapa pegiat dan pcinta anak, menginisisasi kegiatan-kegiatan outdoor yang berbasis petualangan. Area pesawahan kosong menjadi setting kegiatan. Anak-anak bebas bermain lumpur menghabiskan waktunya dengan kegembiraan yang apa adanya tanpa dikejar waktu dan nilai pencapaian, karena pencapaian sesungguhnya adalah kegembiraan mereka itu sendiri.
Atau yang lebih konstruktif lagi adalah pengenalan pemanfaatan sampah kertas, misalnya. Atau pergi ke spot-spot bersejarah akan memberi semangat dan warna baru bagi anak.
Entah sampai kapan ‘drama’ covid-19 dengan segala kebijakan pembatasan-pembatasan ini berlangsung, anak-anak adalah lapisan yang paling rawan terimbas dampaknya. Kehilangan moment, kehilangan ruang, kehilangan sosok guru, rancu dan kebingungan berinteraksi dengan teman karena adanya aturan tak boleh berkerumun. Tatanan baru yang jelas tak sejalan dengan karakter fitrah anak-anak. Tixak hanya tenaga kependidikan, sepertinya para psikolog anak harus turun gunung membuat konsep-konsep baru permainan-permainan edukatif berbasis protocol kesehatan. Apapun itu, yang jelas fitrah anak-anak harus ‘diselamatkan’.
-IKA NH