Suasana lebaran yang dirayakan umat muslim adalah momen yang istimewa untuk memperbanyak bermaaf-maafan. Namun, dalam benak hati terkadang orang masih bertanya-tanya, apa arti dari halal bihalal?
Pernyataan ini disampaikan Ketua Dewan Pembina Yayasan El-Yaomy Klaten KH Syamsuddin Asyrofi saat acara halal bihalal keluarga besar Yayasan El-Yaomy di Gedung Al Barokah Desa Tegalrejo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Rabu (17/5/2023).
“Para pakar selama ini tidak menemukan dalam Alquran atau Hadits sebuah penjelasan tentang halal bihalal. Istilah itu memang khas Indonesia. Bahkan boleh jadi, pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia. Walaupun mungkin yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab,” katanya.
Menurut Syamsuddin Asyrofi yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Klaten ini, istilah halal bihalal muncul secara historis dan filosofis oleh salah seorang Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kyai Abdul Wahab Chasbullah.
“Istilah halal bihalal itu oleh Kiai Abdul Wahab Chasbullah awalnya untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang dilanda konflik bersaudara. Sehingga harus menyajikan bungkus baru yang menarik agar mereka mau berkumpul dan menyatu, saling maaf-memaafkan,” ujarnya.
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Syamsuddin dengan mengutip dari Pakar Tafsir Alquran Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah yang digagas Kiai Wahab Chasbullah tersebut.
Pertama, dari segi hukum fiqih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal, akan memberikan kesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.
Dengan demikian, kata Syamsuddin, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap mereka yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bi halal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.
Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan istilah halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh.
“Dikatakan secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama, walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, dan dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala,” jelasnya.
Kedua, kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Dengan demikian, menurut Syamsuddin, jika mereka memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali.
“Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan, sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri,” terangnya.
Sedangkan yang ketiga, halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Alquran menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak.
“Inilah yang menjadi sebab mengapa Alquran tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu, yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya,” paparnya.
Terkait, Ketua panitia halal bihalal Keluarga besar Yayasan El-Yaomy, Lupi Mainingsih mengatakan, halal bihalal ini merupakan agenda tahunan untuk menjalin tali silaturrahmi antar keluarga besar yayasan.