SADRANAN MUHAMMADIYAH
Oleh : Sugiyanto Harman
Guru saya Mbah Taslim (Allahuyarhamhu) –rumah beliau di Kemasan (/cabeyan), Gempol, karanganom, Klaten,– mengatakan bahwa tradisi sadranan pernah diseminarkan di Semarang. Ringkas cerita bahwa sadranan berasal dari kata sraddha. Peristiwa tersebut diabadikan dalam kitab Nagarakartagama dalam bentuk candrasengkala yang berarti 1281 saka (1359 M) itu mengisahkan perjalanan Hayam Wuruk, raja Majapahit, mengunjungi candi-candi leluhurnya.
Upacara sraddha pada masa itu dilakukan untuk memperingari 12 tahun wafatnya seorang tokoh. Adalah Rajapatni atau Gayatri, nenek Hayam Wuruk, yang kematiannya diperingati secara besar-besaran dan dicatat secara runtut oleh Mpu Prapanca.
Setelah nyekar, dilanjutkan acara makan-makan bagi seluruh pegawai kerajaan hingga para abdinya. Sang raja juga membagikan hartanya dan makanan untuk masyarakat, terutama pendeta. Karena diselenggarakan secara besar-besaran dan sangat meriah kemudian disebut sraddha sampurna.
Adapun pendapat kedua bahwa sadranan berasal dari kata sodrun yang artinya ‘tidak waras’, didasarkan pada adat orang-orang dulu yang datang membawa sesaji ke makam dan meminta sesuatu kepada leluhur, kemudian ‘diwaraskan’ oleh walisongo dengan doa-doa Islami dan tidak meminta kepada yang sudah meninggal.
Pendapat yang lain mengasumsikan bahwa sadranan berasal dari kata shodrun yang artinya dada atau hati, dikarenakan pada bulan Ruwah (Sya’ban) saatnya menata hati dan melapangkan dada untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal dan mempersiapkan diri menyambut bulan Ramadhan (Puasa).
Dua pendapat terakhir lebih menonjol tradisi lisannya, atau hanya dari mulut ke mulut yang masih perlu dirunut dan dibuktikan kebenarannya. Meskipun bisa dipastikan masih ada pendapat lainnya. Yang umum terjadi sebuah tradisi jawa yang ‘terlanjur’ berkelanjutan hingga sekarang kemudian dibungkus dengan legitimasi telah ‘diislamkan’ oleh walisongo, tanpa perlu menunjukkan sejarah peristiwanya.
Secara umum publik percaya kalau sudah ada embel-embel walisongo (baca: Sunan Kalijaga) di belakangnya.
Pelaksanaan tradisi sadranan di masyarakat berbeda-beda cara, model dan teknisnya, termasuk waktu yang disepakati meskipun masih dalam bulan Ruwah tersebut. Ada yang tanggal 20 kemudian disebut nyadran rongpuluhan, ada yang tanggal 25 (nyadran selawe) dan seterusnya. Itupun ada yang menggunakan tanggalan anyar (asopon) ada juga yang bersikukuh dengan tanggalan lawas (aboge). Jadi nyadran (26) nemlikuran aboge, berarti sama dengan (25) selawenan asopon.
Model pertama, pada hari yang disepakati masyarakat membawa tumpeng komplit dengan perlengkapan (uba rampe) berupa sayur sambel goreng, ingkung atau daging ayam, telur, thontho, gereh, cenggereng, krupuk , apem, aneka buah-buahan dan sebagainya.
Ada yang dikumpulkan di bangsal (ruang pertemuan yang dibuat khusus di samping makam, ada yang di dalam lokasi makam/kuburan, dan ada pula yang dikonsentrasikan di serambi masjid. Kemudian berdoa bersama-sama untuk para arwah, setelah didahului dengan bacaan-bacaan dzikir atau biasa disebut ritual tahlilan.
Model kedua, setiap rumah bergantian mengundang tetangga dan kaum kerabat untuk tahlilan. Kemudian disuguhi minuman, makanan ringan dan makan besar. Lalu ditutup dengan kenduri lengkap dengan tumpeng, ingkung ayam jantan, apem, sayur pecel trancam dan buncis, jajan pasar, pisang dan uba rampe lainnya.
Model ketiga, hampir mirip dengan model pertama tetapi cukup dilaksanakan di beberapa rumah penduduk berdasarkan pengelompokan wilayah yang telah disepakati.
Intinya memintakan maaf atas kesalahan dan dosa-dosa para leluhur yang telah mendahului dan mendoakan dilipatgandakannya pahala kebaikan yang telah dilakukan, dijauhkan dari siksa kubur dan dihindarkan dari azab neraka serta dimasukkan ke dalam surga Allah SWT.
Muhammadiyah tidak hanya membolehkan ziarah kubur tapi juga memerintahkan jika ziarah kubur tersebut bertujuan untuk mengingat kematian dan akhirat serta mendoakan ahli kubur sebagaimana paragraf di atas.
Tetapi tidak merekomendasikan pembebanan dengan tata cara dan uba rampe sebagaimana dimaksud dengan sadranan dalam pembahasan di atas. Logikanya cukup sederhana, sebagai agama yang sempurna Islam tentu sudah mengatur bagaimana cara mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia.
Rasanya kurang masuk akal jika untuk berdoa saja masyarakat harus bersusah payah mengeluarkan uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Apalagi ‘keharusan’ memenuhi ketentuan uba rampe yang beraneka ragam.
Untuk sekedar melegitimasi, mungkin berbagai kelengkapan makanan tersebut diasumsikan sebagai shadaqah. Tetapi mengingat unsur shadaqah itu ada yang bersedekah, ada obyek yang disedekahkan dan ada penerimanya, maka unsur ketiga kurang bisa dipenuhi karena semua sudah membawa makanan dari rumah, dan kemudian di bawa pulang lagi.
Lagi pula mensyaratkan tata cara tertentu untuk obyek yang disedekahkan dipastikan mengandung kepercayaan yang berpotensi bertentangan dengan syara’.
Bisa jadi pembaca lalu berpendapat, bahwa itu adalah budaya lalu berkesimpulan bahwa Muhammadiyah anti budaya. Tidak sepenuhnya benar karena Muhammadiyah juga mengedepankan dakwah kultural, tetapi tetap menghindari ‘perkara aneh-aneh’ agar tidak menjerumuskan pelakunya.
Budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. yang diyakini kebenarannya oleh orang yang bersangkutan pada waktu kebudayaan itu diciptakan. Artinya output yang terbagus pada saat itu belum tentu sesuai dan pas untuk kehidupan manusia pada saat yang lain.
Jika kita memandang tata cara sadranan sebagai harga mati yang harus dipertahankan justru kita membatasi cipta, rasa dan karsa manusia sekarang. Kita wajib mengapresiasi kerja keras para pendahulu tetapi tidak berarti harus memaksakan untuk tetap dilaksanakan pada kondisi sekarang.
Berbeda dengan agama karena merupakan wahyu suci yang kebenarannya bersifat mutlak dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Yang dikhawatirkan jika orang terlalu sibuk melakukan perkara-perkara budaya yang disangka ajaran agama tetapi justru meninggalkan kewajiban utamanya. Rajin berangkat undangan selamatan kematian tetapi enggan shalat lima waktu, apalagi jama’ah ke masjid dan sejenisnya.
Pertanyaannya, apakah Muhammadiyah melaksanakan sadranan. Jawabnnya YA, jika yang dimaksud sadranan adalah memintakan maaf atas kesalahan dan dosa-dosa para leluhur yang telah mendahului dan mendoakan dilipatgandakannya pahala kebaikan yang telah dilakukan, dijauhkan dari siksa kubur dan dihindarkan dari azab neraka serta dimasukkan ke dalam surga Allah SWT.
Tetapi Muhammadiyah meyakini bahwa tata caranya sudah diatur detail oleh Islam termasuk bacaan-bacaan doanya, sehingga tidak perlu membuat tata cara sendiri meskipun kelihatannya bagus bahkan terasa meriah.
Meskipun begitu mayoritas pengikut Muhammadiyah sangat toleran dengan tidak menjelek-jelekkan apalagi menyalah-nyalahkan bagi yang berkeyakinan lain.
Sebaliknya bagi yang masih menganggap bahwa Muhammadiyah tidak peduli dengan yang sudah meninggal, tidak mau mendoakan dan mengharamkan ziarah kubur, sebaiknya menghentikan asumsinya. Karena berdoa bias kapan saja, di mana saja bahkan dengan bahasa apa saja tanpa dibebani syarat-syarat yang diada-adakan.
Bahkan penelitian Abdul Munir Mulkhan (tokoh Muhammadiyah) terhadap masyarakat petani di Kecamatan Wuluhan, Jember, Jawa Timur, menunjukkan bahwa pengikut Muhammadiyah menjadi empat tipologi atau varian : Al-Ikhlas, Kyai Dahlan, Munu (Muhammadiyah-NU), dan Marmud (Marhenis Muhammadiyah).
Tipologi Al-Ikhlas merupakan kelompok minoritas yang sangat puritan dan mengecam praktik TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat). Meskipun sangat disegani karena kesalihannya, kelompok Al-Ikhlas tidak pernah mampu menduduki posisi penting di dalam keorganisasian tingkat kecamatan (cabang) dan desa (ranting).
Sementara varian Kyai Dahlan termasuk kelompok minoritas tetapi menguasai kepemimpinan dalam cabang dan ranting. Hal ini dikarenakan kelompok Kyai Dahlan sangat toleran terhadap praktik TBC meski tidak turut melakukan. Kelompok minoritas lainnya adalah Marmud yang tetap menjadikan TBC sebagai tradisi.
Sementara kelompok mayoritas dalam pengikut Muhammadiyah di Wuluhan adalah Munu yang berprofesi sebagai petani dan tetap menjadikan TBC sebagai tradisi.
“Ya Allah, ampunilah ayah ibu kami, kakek nenek kami, keluarga kami, saudara-saudara kami, kasihilah mereka, berilah mereka kekuatan, maafkanlah mereka, dan tempatkanlah di tempat yang mulia (surga), luaskan kuburannya, mandikanlah dengan air salju dan air es.
Bersihkan dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran, berilah ganti rumah yang lebih baik dari rumah mereka di dunia, berilah ganti keluarga (atau istri di surga) yang lebih baik daripada keluarga mereka (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan mereka ke surga, jagalah dari siksa kubur dan neraka.”